Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ritual Pasca Bencana Aceh dan Jepang

Peringatan Tsunami di Banda Aceh
Sumber Gambar : acehtribunnews.com

Ada satu hal yang dapat ditarik sebagai kesamaan antara Aceh dan Jepang yaitu tsunami, mengapa? karena Aceh dan Jepang pernah mengalami peristiwa tsunami yang dahsyat hingga menimbulkan ratusan ribu korban jiwa meninggal dunia.

Gempa bumi yang terjadi di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 dengan kekuatan 9 Skala Richter di kedalaman 30 km dasar laut sebelah barat daya Aceh yang disusul dengan gelombang Tsunami dengan kecepatan awal sekitar 700 km/jam telah banyak memakan korban hingga 126.741 jiwa meninggal dunia.
Pada tanggal 11 Maret 2011, sekitar pukul 14.46 waktu setempat, gempa berkekuatan dahsyat 9 skala Richter mengguncang kawasan Tohoku di lepas pantai Samudera Pasifik, tepatnya wilayah timur Sendai, Honshu, Jepang. Tsunami setinggi 33 kaki atau sekitar 10 meter kemudian menghantam kawasan pesisir Prefektur Miyagi dan sekitarnya. Akibatnya, sekitar nyawa 15 ribu jiwa melayang.

Dalam hal ini seorang akademisi dari Tohuku University Jepang yang bernama Yu Fukuda, Ph.D tertarik melakukan penelitian mengenai bagaimana masyarakat Aceh dan Jepang dalam bersikap dan merespon kejadian tsunami, Yu Fukuda bulan Desember lalu menjadi salah seorang narasumber diskusi ilmiah yang bertemakan Post – Disaster Ritual Masyarakat Jepang Aceh dalam rangka memperingati 13 Tahun Tsunami Aceh di Gedung Hyogo Prefecture Unsyiah.

Dia menemukan banyak perbedaan antara masyarakat Aceh dan Jepang dalam hal memperingati peristiwa Tsunami, di Aceh memperingati Tsunami itu dilakukan dengan berbagai kegiatan yang bernuansa Islam seperti dzikir bersama, bersedekah ke anak yatim, dan ceramah-ceramah agama yang disampaikan tokoh agama ataupun para pemimpin seperti Gubernur, Bupati ataupun Rektor dan diiringi dengan kanduri yaitu budaya makan dan minum.

Peringatan Tsunami di Tohuku Minamisanriku Chou Jepang.

Sedangkan di Jepang berbeda, peringatan Tsunami  tidak mengandung unsur ritual agama di dalamnya, setelah perang dunia ke II kondisi politik di Jepang berubah, dalam hal peringatan Tsunami sudah menjadi hal yang lumrah tidak diikutkannya tokoh agama dan  dilkasanakannya ritual agama di dalamnya.
Peringatan Tsunami di Jepang dimulai dengan mengheningkan cipta, kemudian para perwakulan kelompok keluarga korban Tsunami diberikan kesempatan untuk menyampaikan pidato di depan publik Jepang dan para keluarga dibekali kalungan bunga dan botol yang berisi air sebagai penghormatan terhadap spirit korban yang terkena gelombang Tsunami.

Selanjutnya Yu Fukuda menemukan hal yang tidak biasa dalam menarasikan bencana di masyarakat Aceh, Masyarakat Aceh memaknai bencana sebagai sebuah “Ketetapan Allah” , atau sebagai cobaan atau ujian untuk hambanya agar hambanya berubah ke arah yang lebih baik dan Allah menurunkan bencana bukan untuk hal yang sia-sia, pasti ada hikmah dari bencana yang telah terjadi.

Sebaliknya di Jepang, membicarakan makna di balik sebuah penderitaan dianggap hal yang tabu, masyarakat didorong untuk fokus berusaha mencari solusi ke arah yang lebih baik lagi daripada mendiskusikan hal-hal yang tidak terlalu penting. Kebanyakan para pembicara pada saat peringatan Tsunami, menyampaikan bagaimana membangun kembali kota dan jangan sampai tragedi Tsunami terulang kembali dalam pidatonya. Mereka berjanji melakukan perbaikan dan pencegahan sebagai semangat dalam mengenang para korban, agar pengorbanan mereka tidak sia-sia. Dalam hal  ini masyarakat Jepang menganggap Tsunami merupakan “Hadiah” tapi hal ini tidak merupakan ungkapan langsung sehingga pertanyaan mengenai penderitaan yang dianggap tabu bagi masyarakat Jepang dapat terjawab.

Dalam bencana dikenal dengan yang namanya “Siklus Bencana”, karena sejatinya bencana itu bersifat berulang, siklus bencana terbagi atas Pra Bencana, Saat Bencana dan Pasca Bencana. Pra Bencana atau sebelum bencana terbagi atas dua kegiatan. Pertama, Pencegahan dan Mitigasi, kedua, Kesiapsiagaan.

Sudah seharusnya Aceh siap dalam hal Pra Bencana, seperti Pencegahan dan Mitigasi dan Kesiapsiagaan. Mitigasi terbagi atas dua yaitu Mitigasi Aktif dan Mitigasi Pasif. Mitigasi aktif berupa pembuatan tanda-tanda peringatan seperti tanda bahaya, tanda larangan mamasuki daerah rawan bencana, pengawasan terhadap peraturan yang berkaitan dengan kebencanaan, pelatihan kebencanaan terhadap aparat dan masyarakat. Mitigasi pasif berupa pembuatan undang-undang kebencanaan, penelitian, pembuatan peta rawan bencana, pembuatan pedoman atau standar atau prosedur, brosur, poster dan pengkajian karakteristik bencana. Kesiapsiagaan berupa pengaktifan pos-pos siaga bencana, pelatihan, simulasi, inventarisasi dan penyiapan sumber daya, sistem informasi yang cepat dan terpadu dan pemasangan sistem peringatan dini.

Ada sebuah Firman Allah yang artinya Allah akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu juga berusaha merubah nasibnya sendiri, maka Aceh dapat mencotoh masyarakat Jepang dalam hal mitigasinya, baik mitigasi pasif dan aktif dan kesiapsiagaan, karena masyarakat Jepang sudah dikenal siap dalam menghadapai bencana Tsunami.

Jika segala upaya telah dilakukan dalam hal Pencegahan dan Mitigasi dan Kesiapsiagaan, tetapi saat terjadi bencana masih dapat menelan atau mengakibatkan korban jiwa, maka peran agama dapat membantu jiwa-jiwa manusia yang telah berusaha dengan semampunya, atau dapat dikatakan semua adalah ketetapan Allah, manusia hanya bisa berusaha dan berdoa.


Tulisan ini sudah terbit di acehtrend.com, bila ingin melihat  klik di sini

Post a Comment for "Ritual Pasca Bencana Aceh dan Jepang"