Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

“Mayam” Budaya Aceh Yang Bikin Dilema Pemuda Milenial

Sumber: Intagram @erna.dsusanti

“Mengenalkan dan mempertahankan budaya itu penting, supaya manusia bisa mengenal dirinya dan lebih menghargai” – Maisie Junardy, Man’s Defender

Aceh merupakan provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatera. Memiliki salah satu otonomi khusus yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia berupa pemberlakuan syariat Islam, membuat Aceh dikenal religius dan memiliki adat budaya yang identik dengan Islam. Harmonisasi hubungan antara adat budaya Aceh dan Islam, hidup dan berkembang di dalam sendi kehidupan seluruh masyarakat Aceh.

Hal itu tergambar dalam falsafah hidup masyarakat Aceh; “Adat bak poteu mereuhom, hukom bak syiah kuala, kanun bak putro phang, reusam bak lakseumana, hukom ngon adat hanjeut mecre, lage zat ngon sifet” yang bermakna bahwa hukum syara’ atau syariat dengan hukum adat tidak dapat dipisahkan, ibarat tidak terpisahkannya zat Tuhan dengan sifatnya.

Dalam tradisi perkawinan, masyarakat Aceh pada umumnya menjadikan emas sebagai mahar. Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan sosial di dalam kehidupan masyarakat, sehingga akan sangat jarang atau bisa dikatakan tidak ada mahar dalam bentuk selain emas di Aceh.

Begitu juga dengan besaran mahar yang biasa disebut “Mayam”, terkadang dipengaruhi oleh status sosial. Dimana semakin tinggi status sosial seseorang makan akan semakin tinggi pula mayamnya. Sehingga kadang mahar dikonotasikan sebagai sarana pertukaran status sosial, pertaruhan harga diri dan gengsi dalam kehidupan bermasyarakat.

 
Sumber: islamsosmed.blogspot.com

Penetapan mahar tersebut tak jarang menimbulkan problematika di tengah masyarakat, seperti kawin lari, kawin siri dan kawin kontrak yang terjadi karena upaya untuk menghindari ketetapan mahar yang sering kali direkayasa oleh kepentingan tertentu.

Melihat fenomena tersebut bagaimana dengan para Pemuda Milenial yang hidup di Aceh?
Apakah mahar dapat menjadi batu sandungan untuk sampai ke jenjang pernikahan?

Seperti kata pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang”, oleh karena itu mari cari tahu apa itu mahar?

Mahar dan Dasar Hukumnya

Menurut Imam Syafii, mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya. Pendapat lain dikemukakan oleh Dr. M. Quraish Shihab, menurutnya mahar adalah lambang kesiapan, kesediaan suami memberi nafkah pada istri dan anak-anaknya, selama mahar itu bersifat lambang maka sedikit pun jadilah, agama menganjurkan agar mahar sesuatu bersifat materi, maka jika seorang laki-laki belum memilikinya, dianjurkan untuk menunda perkawinan sampai ia mampu, tetapi jika karena sesuatu dan lain hal ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.

Dasar hukum mahar dalam perkawinan merupakan sebuah ketetapan di dalam Al-Qur’an, Hadis dan juga Ijma’ para ulama. Perintah pemabayaran mahar berdasarkan atas firman Allah SWT dalam surat An Nisa’ ayat 4 yang artinya:
 Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

Sedangkan menurut ketiga Imam Mazhab selain Imam Malik berpendapat Mahar termasuk syarat sahnya nikah, sehingga tidak ada mahar tidak sah nikah. (Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, 432).

Syarat Mahar dan Besarannya

Ada empat syarat sesuatu dapat dijadikan mahar. Pertama, harta atau benda berharga, maka tidak sah mahar dengan benda atau harta yang tidak berharga. Kedua, barangnya suci dan bermanfaat, maka tidak sah mahar dengan babi, darah dan khamar. Ketiga, barangnya bukan ghasab, ghasab artinya mengambil barang orang lain tanpa izin, namun tidak bermaksud memilikinya, karena berniat mengembalikannya. Keempat, bukan barang yang tidak jelas keberadaanya.

Dapat dilihat dari keempat syarat tersebut, bahwa tidak ada batas tertinggi dan terendah dalam penentuan mahar yang penting mahar itu sesuatu yang berharga berdasarkan kesepakatan para fuqaha, Imam Syafi’i Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur.

Fungsi Mahar

Menurut Musthafa Al Maraghi, mahar adalah bukti atas kesungguhan dan kuatnya hubungan ikatan yang dijalani oleh kedua pihak. Mahar bukan untuk menghargai atau menilai perempuan, melainkan sebagai bukti bahwa calon suami sebenarnya cinta kepada calon istri, sehingga dengan suka rela mengorbankan hartanya untuk diserahkan pada istrinya, sebagai tanda cinta dan pertanda suami akan siap terus menerus memberikan nafkah kepada istrinya sebagai kewajiban suami terhadap istri.

Kesimpulan

Mahar perkawinan berupa emas yang berlaku di Aceh bukanlah sesuatu yang dilarang dalam Islam, karena tidak ada larangan untuk menjadikan emas sebagai mahar. Mahar dalam bentuk emas di Aceh biasa ditetapkan dengan besaran berupa Mayam, 1 mayam setara dengan 3,3 gram emas.

Penetapan emas sebagai mahar memiliki berberapa dampak positif. Pertama, menjadi benteng bagi perempuan dari laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Seorang laki-laki tidak bisa semaunya menikahi perempuan pujaan hatinya, perlu adanya peran keluarga untuk bermusyawarah terkait dengan jenis dan kadar emas yang digunakan sebagai mahar. Laki-laki yang merasa keberatan untuk membeli emas dengan besaran yang telah ditentukan. Bisa jadi belum siap menikah, sedangkan laki-laki yang siap menikah akan menganggap penetapan emas sebagai motivasi mencari nafkah agar keinginannya dapat tercapai. Kedua, hikmah lain dari penentuan emas sebagai mahar perkawinan adalah dapat mencegah generasi muda untuk melakukan pernikahan dini yang mengakibatkan perceraian.

Penetapan emas sebagai mahar, juga memiliki dampak negatif. Pertama, tidak adanya pengawasan bagaimana pihak laki-laki memperoleh emas sebagai mahar, apakah dengan cara baik atau buruk? Hal tersebut tentunya menimbulkan peluang bagi laki-laki  kurang baik dapat menikahi perempuan baik-baik karena dapat memenuhi ketentuan mahar yang telah ditetapkan. Akhirnya terjadilah “perdagangan manusia yang terselubung dibalik upaya orang tua meninggikan nilai mahar anak gadisnya dalam rangka mengubah status sosialnya. Kedua, kebebasan perempuan Aceh untuk menikah terabaikan ketika laki-laki idamannya belum bisa memenuhi ketetapan mahar yang telah ditentukan. Akhirnya sebuah pernikahan dapat terlaksana bukan berdasarkan rasa saling cinta melainkan berdasarkan besaran mahar yang ditetapkan.

Nah para pemuda milenial sudah tahukan sisi-sisi positif dan negatif dari penentuan emas sebagai mahar ?

Kini saatnya berfikir, benar atau tidak bahwa mahar itu merupakan batu sandungan untuk menikah. Jawabannya tentu ada pada diri kita masing-masing, namun yang jelas para Pemuda Milenial perlu belajar untuk mempersiapkan diri. Masa penetapan mahar dengan pemberian mahar memiliki rentang waktu yang cukup untuk memberi kesempatan bagi Pemuda Milenial untuk dapat memenuhi ketentuan tersebut.

Pemuda Milenial juga harus berhati-hati dalam menggunakan uangnya di masa muda yang biasanya cenderung berhura-hura. Apalagi dengan harga emas yang setiap tahun terus naik, Pemuda Milenial dituntut untuk pandai-pandai mengelola keuangannnya sebaik mungkin. Karena jika gagal mempersiapkan mahar yang telah ditentukan maka konsekuensinya adalah gagal membawa pulang sang pujaan hati.
...
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog dengan Tema Budaya Aceh di Mata Milenial. Masing-masing sumber telah dicantumkan pada setiap gambar.

Daftar Referensi

Fatwa MPU Aceh Nomor 5 Tentang Tahun 2016 Mahar dalam Perspektif Fiqh, Undang-Undang dan Adat Aceh.

Mediaindonesia.com. 2018. Ferdian Ananda MajniMahar Pernikahan Aceh dan Muruah Keluarga.[daring] (https://mediaindonesia.com/read/detail/173461-mahar-pernikahan-aceh-dan-muruah-keluarga diakses tanggal 3 Oktober 2019).

Ihsan, M. (2014). STUDI KOMPARASI PANDANGAN MAJELIS ADAT ACEH DAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA KOTA LANGSA TERHADAP PENETAPAN EMAS SEBAGAI MAHAR PERKAWINAN (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

Aceh.tribunnews.com. 2011. Herman RN:Mahar Dalam Adat Aceh. [daring] (https://aceh.tribunnews.com/2011/10/30/mahar-dalam-adat-aceh diakses tanggal 3 Oktober 2019)

Post a Comment for "“Mayam” Budaya Aceh Yang Bikin Dilema Pemuda Milenial "