Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SMONG DAN REFLEKSI 13 TAHUN TSUNAMI

Sumber Foto : https://musfarayani.wordpress.com/
Banyaknya korban jiwa akibat sebuah bencana disebabkan tidak adanya pengetahuan mengenai bencana tersebut. Sebut saja peristiwa gempa bumi yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004 dengan kekuatan 9 Skala Richter di kedalaman 30 km dasar laut sebelah Barat Daya Aceh yang membangkitkan gelombang Tsunami dengan kecepatan awal sekitar 700 km/jam telah banyak memakan korban hingga 126.741 jiwa meninggal dunia. 

Dari total 126.741 jiwa yang meninggal, di Banda Aceh sebanyak 61.065 jiwa meninggal dunia sedangkan di Simeulue hanya 6 orang meninggal dunia, terdapat perbedaan jumlah korban yang signifikan antara Banda Aceh dengan Simeulue, sedangkan kita tahu Simeulue adalah kawasan paling dekat dengan pusat gempa. Mengapa bisa demikian? jawabannya adalah karena di Simeulue telah lebih dahulu mengalami bencana gempa yang disertai gelombang Tsunami tepatnya pada tahun 1907. Pada saat itu masyarakat Simeulue menamakan Tsunami dengan sebutan Smong yakni naiknya ombak besar.

Kedahsyatan Smong serta gejala-gejala alam yang mendahuluinya, diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi dalam bentuk syair yang dibacakan kepada anak-anak sebelum tidur, berisi nasehat untuk taat dan patuh kepada orang tua, sepenggal kisah tentang kepergian orang tua akibat amukan Smong, serta ajakan untuk lari ke daerah yang lebih tinggi jika ada goncangan gempa yang kuat. Maka dari itu tidak heran jika Tsunami yang terjadi di Simeulue tidak banyak menimbulkan korban jiwa.

Kata Smong merupakan bagian dari kosa kata asli bahasa Simeulue atau bahasa Devayan, Smong tidak saja diartikan Tsunami akan tetapi memiliki makna yang luas yang dapat diartikan sebagai bencana alam, bermakna sesuatu kekacauan yang terjadi saat terjadinya ombak besar di pantai, hujan, angin kencang, guntur, juga disebut sebagai Smong. Berikut syair-syair yang berisi smong melalui Nandong yang dalam bait-baitnya berbunyi:

Enggel mon sao surito (Dengarlah suatu kisah)
Inang maso semonan (Pada jaman dahuku kala)
Manoknop sao fano (Tenggelamlah suatu desa)
Uwilah da sesewan (Begitulah dituturkan)

Anga linon ne mali (Jika gempanya kuat)
Dek suruik sahuti (Disusur air laut yang surut)
Maheya mihawali (Segeralah cari)
Fano me singatenggi (Tempat yang tinggi)

Unen ne alek linon (Diawali gempa yang kuat)
Fesangbakat ne mali (Disusuli ombak raksasa)
Manoknop sao hampong (Tenggelamlah seluruh negeri)
Tibo-tibo mawi (Secara tiba tiba)

Ede smong kahanne (Itulah Smong namanya)
Turiang da nenekta (Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere (Ingatlah ini semua)
Pesan dan navi da (Pesan dan nasihatnya)

Smong dumek-dumekmo (Smong adalah air mandimu)
Linon uwak-uwakmo (Gempa adalah ayunanmu)
Elaik keundang-keundangmo (Petir adalah kendang-kendangmu)
Kilek sulu-sulumo (Halilintar adalah lampu-lampumu).

13 tahun Tsunami telah berlalu apa yang telah kita persiapkan untuk mengurangi risiko bencana Tsunami? dari kisah Smong dapat ditarik sebuah kesimpulan yang menunjukkan pentingnya sebuah pengetahuan, yakni pengetahuan yang menyelamatkan nyawa dari bencana. 

Smong adalah Pengetahuan Lokal yang dapat dijadikan sebagai upaya pengurangan risiko bencana, berbicara bencana tidak lepas dari manajemen bencana dan salah satu unsur dari manejemen bencana adalah mitigasi. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik  melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU Nomor 24 Tahun 2007). 

Ada dua unsur Mitigasi yaitu Mitigasi Struktural dan Mitigasi Non Struktural, Mitigasi struktural adalah upaya pembangunan fisik untuk mengurangi atau menghindari kemungkinan akibat atau dampak bahaya bencana atau/serta penerapan teknologi serta arsitektur dan sistim bangunan yang kuat agar tahan hantaman bahaya bencana, seperti membuat tembok Tsunami, bendungan, tanggul sungai, rumah tahan gempa. Mitigasi Non Struktural adalah bukan upaya pembangunan fisik dengan memanfaatkan pengetahuan, tindakan dan kesepakatan untuk mengurangi risiko dan dampak bencana. Secara khusus ini meliputi antara lain, undang-undang dan kebijakan, peraturan, kegiatan peningkatan kesadaran publik dalam pengurangan risiko bencana, pelatihan dan pendidikan. 

Smong dapat diaplikasikan pemerintah dalam pengurangan risiko bencana melalui Mitigasi Non Sruktural. Pemerintah dapat mencontoh atau mengenalkan Smong di daerah lain, baik yang sesuai atau tidak dengan karakteristik geografi dan sosial budaya Simeulue. Namun pengenalan tersebut tentunya dilakukan dengan adanya berbagai penyesuaian. Karena budaya antar suatu masyarakat dengan masyarakat lain itu berbeda, kita tidak bisa memaksakan suatu budaya masyarakat untuk diambil dan diterapkan secara total atau keseluruhan di daerah lain. Karena apabila dipaksakan dikhawatirkan tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal.

Dalam hal ini seperti budaya Masyarakat Simeulue yang belum tentu sama dengan masyarakat Aceh pada umumnya. Namun walaupun tidak dapat diambil atau diterapkan secara keseluruhan minimal pemerintah dapat menularkan semangat masyarakat Simeulue dalam hal pengurangan risiko bencana khususnya bencana Tsunami.

Tulisan ini sudah dipublish di www.acehtrend.co

Posting Komentar untuk "SMONG DAN REFLEKSI 13 TAHUN TSUNAMI"