Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Optimalisasi Pendidikan Bencana dengan Gerakan Pramuka

Pagi itu di sekolah tempat saya bekerja, saya dan rekan kerja saya tengah memperhatikan tentang banyaknya siswa yang bersekolah di pesantren dibandingkan dengan sekolah tempat kami bekerja. Mengapa hal itu bisa terjadi? Menurut saya jawabannya adalah karena para orang tua siswa telah sadar bahwa pendidikan agama begitu penting untuk mencetak moral anak tanpa mengecualikan pendidikan umum, oleh karenanya mereka memasukkan anak-anak mereka ke pesantren.

Dan memang benar, dua anak dari rekan saya bekerja, yang satu perempuan dan satunya lagi laki-laki sedang menempuh pendidikan di pesantren. Menurutnya di pesantren anak diajarkan untuk lebih mandiri, seperti anak perempuannya yang kini terlihat lebih rajin misalnya dalam menyusun buku, melipat pakaian, merapikan tempat tidurnya sedangkan anak laki-lakinya terlihat sebaliknya, kamarnya begitu berserakan seperti kapal pecah. Seperti kita tahu, satu kamar di pesantren itu dihuni lebih dari satu orang, bisa dibayangkan jika satu anak saja tidak rajin merapikan isi kamarnya, bagaimana bentuk kamar dan segala isi didalamnya?. 

Anak laki-lakinya akhirnya bisa betah tinggal di pesantren karena bisa bermain bola setiap sore dan punya banyak teman baru, sedangkan anak perempuannya memang sudah setahun lebih dulu masuk pesantren dibandingkan dengan adiknya. Kebetulan kamar anak laki-lakinya berada di lantai paling atas yaitu lantai 3 dan bangunan kamar itu baru saja selesai dibangun untuk anak-anak yang baru masuk tahun ini.
Mendengar hal itu saya spontan bertanya, bagaimana mengenai mitigasi bencana di pesantren itu, mengingat kamar anaknya berada di lantai 3. Menurut saya kamar di lantai 3 itu rawan terjadi kecelakaan, karena saat terjadinya gempa bumi anak-anak di kamar tersebut panik berlarian keluar, saling rebutan untuk keluar mengakibatkan mereka saling bertabrakan satu sama lainnya, belum lagi saat menuruni tangga, mungkin saja gara-gara panik, anak-anak itu langsung meloncat dari lantai 3 ke lantai 2 yang dapat mengakibatkan patah kaki dan menimbulkan korban jiwa.
Pertanyaan saya selanjutnya, mengenai bagaimana nanti jika sedang istirahat atau sedang tidur siang atau malam, tiba-tiba terjadi gempa bumi, apa yang pertama kali harus dilakukan? bagaimana proses mereka menyelamatkan diri dari kamar mereka? Kemana mereka harus berkumpul untuk menunggu bantuan datang? Siapa yang akan mengevakuasi mereka ke tempat aman? Mendengar pertanyaan itu rekan saya tampak begitu risau sambil mengerutkan dahinya, dia berkata bahwa sepertinya belum ada upaya mitigasi bencana di pesantren itu.

Setelah itu saya perhatikan rekan saya ini kelihatan takut dan cemas akan nasib anaknya di pesantren. Karena seperti yang kami ketahui, Aceh merupakan daerah yang rawan gempa bumi. Dia sendiri merupakan salah satu orang yang turut merasakan secara langsung kedahsyatan gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004 silam, tentu saja dia mempunyai trauma sendiri atas peristiwa tsunami tersebut. Lantas kemudian dia katakan, bahwa dia sebagai orang tua santri akan mengusulkan untuk diadakannya simulasi bencana gempa bumi di pesantren tersebut.

******

Dari pembicaraan singkat di atas dapat kita ambil pelajaran bahwa ternyata kesiapsiagaan dalam bencana itu sangat dibutuhkan dimana pun tempatnya, termasuk di pesantren atau sekolah. Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, oleh faktor alam dan non alam maufun faktor manusia sehingga menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.


Infografis di atas menunjukkan bahwa dari tahun 2014 sampai 2018 fasilitas pendidikan merupakan fasilitas yang paling banyak mengalami kerusakan diakibatkan bencana, jika dibandingkan dengan fasilitas kesehatan dan peribadatan.

Kerusakan ini lebih banyak disebabkan oleh adanya bencana geologi, seperti bencana gempa bumi yang menerjang lombok pada akhir Juli dan awal Agustus 2018 yang lalu. Gempa bumi tersebut menyebabkan 564 warga Lombok meninggal dunia dan 1.584 lainnya luka-luka (bbc.com, 2018). Pada akhir September 2018 terjadi lagi gempa bumi yang memicu tsunami dan likuifaksi disejumlah wilayah Kabupaten Sigi, Selatan Kota Palu. Jumlah korban jiwa yang terdata akibat bencana tersebut adalah sebanyak 2.010 orang dinyatakan meninggal dunia. Sedangkan pada 22 Desember 2018 tsunami kembali terjadi di selat sunda yang disebabkan oleh adanya aktivitas vulkanik dari Gunung Anak Krakatau yang mengakibatkan 437 jiwa meninggal dunia dan 14.059 jiwa mengalami luka-luka (news.detik.com, 2018).

Selain gempa bumi dan tsunami, berbagai bencana lainnya seperti banjir, longsor dan angin puting beliung juga mengakibatkan rusaknya fasilitas pendidikan. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya data yang menunjukkan bahwa 75% atau sekitar 250.000 sekolah baik SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA dan SMK yang ada di Indonesia berada di lokasi rawan bencana (Pendidikan Tangguh Bencana, 2017). Oleh karena itu sangat dikhawatirkan jika sewaktu-waktu bencana terjadi di jam pelajaran sekolah tentunya dapat mengakibatkan banyaknya siswa dan siswi yang akan menjadi korban.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan jumlah pengungsi akibat bencana yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun terakhir (Januari 2015 sampai dengan Juni 2018) mencapai 176.480 kepala keluarga dengan jumlah keseluruhan sebanyak 730.657 jiwa, dimana didalamnya terdapat kelompok bayi sebanyak 5.077 jiwa, balita sebanyak 13.167 jiwa dan selebihnya kelompok yang berkebutuhan khusus. Hal ini senada dengan pernyataan Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, yang manyatakan bahwa 60% hingga 70% mayoritas korban bencana yang ada di Indonesia adalah anak-anak, perempuan, dan lanjut usia.

Data tersebut menunjukkan bahwa banyaknya anak-anak yang menjadi korban bencana tidak bisa dipandang sebelah mata. Artinya perlindungan untuk anak-anak saat pra bencana ataupun saat bencana sangatlah penting untuk dilakukan.

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) pada anak-anak untuk meningkatkan kapasitas anak-anak dalam mengurangi risiko bencana. Pendidikan bencana merupakan salah satu upaya mitigasi dalam PRB, seperti yang disebutkan Kepala BNPB Bapak Doni Monardo Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita, yang artinya pardigma penanggulangan bencana yang mengedepankan mitigasi sebagai bagian dari PRB.  Dengan adanya pendidikan bencana diharapkan dapat mengurangi jumlah korban terutama anak-anak. Pendidikan bencana diharapkan juga dapat melahirkan generasi bangsa yang memiliki ketangguhan dalam mengembalikan kehidupan menjadi lebih baik pada saat pasca bencana.

Salah satu contoh yang dapat kita ambil pelajaran adalah pada peristiwa gempa bumi berkekuatan 9 skala richter yang memicu terjadinya tsunami di Jepang. Dalam peristiwa tersebut, ada sekitar 3000 siswa SD dan SMP di Kota Kamaishi, Prefektur Iwate yang selamat. Para siswa aktif melakukan evakuasi tanpa perlu digerakkan, mereka lari keluar dari gedung sekolah dan kemudian menuju tempat yang lebih tinggi. Reaksi dari para siswa tersebut, memicu siswa lainnya, guru dan masyarakat yang berada di kawasan sekolah tersebut turut melakukan tindakan yang sama. Keberhasilan evakuasi tersebut dikenang sebagai The Miracle of Kamaishi.

Keberhasilan tersebut menunjukkan pada kita, bahwa anak-anak di Jepang sudah memiliki pengetahuan yang mendukung kapasitas mereka dalam mengurangi risiko bencana. Pengetahuan ini tidak lepas dari peran seorang profesor teknik sipil di Gunma University bernama Toshitaka Katadata, yang telah memberikan pendidikan untuk menanggulangi bencana dengan cara yang benar. Beliau mengajarkan tentang pentingnya kesadaran untuk menghormati alam dengan perasaan kagum dan menjadi pro aktif untuk dapat menyelamatkan nyawa.

Lain di Jepang lain pula di Indonesia. Indonesia memiliki kearifan lokal yang dimiliki masyarakatnya, salah satunya di Kabupaten Simeulue yaitu Smong. Smong merupakan kearifan lokal yang berasal dari pengalaman nenek moyang mereka yang pernah mengalami peristiwa tsunami pada tahun 1907. Pada saat itu masyarakat Simeulue menamakan Tsunami dengan sebutan Smong yang bermakna naiknya ombak besar. 

Kedahsyatan Smong serta gejala-gejala alam yang mendahuluinya, diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi dalam bentuk syair yang dibacakan kepada anak-anak sebelum tidur. Syair tersebut berisi nasehat untuk taat dan patuh kepada orang tua, sepenggal kisah tentang kepergian orang tua akibat amukan Smong, serta ajakan untuk lari ke daerah yang lebih tinggi jika ada goncangan gempa yang sangat kuat. Sehingga tidak heran jika Tsunami yang terjadi di Simeulue pada tahun 2004 lalu tidak banyak menimbulkan korban jiwa. Masyarakat berhasil menyelamatkan diri mereka dari terjangan tsunami.  Evakuasi mandiri yang mereka lakukan merupakan kesadaran kolektif yang dibentuk dari literasi lokal atau cerita rakyat.

Peristiwa The Miracle Of Kamakashi dan kearifan lokal Smong merupakan contoh pendidikan bencana yang berhasil meningkatkan pengetahuan, pemahaman yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk saat terjadinya bencana.

Intruksi pendidikan sebagai bagian dari PRB menguat dalam Forum Internasional untuk promosi pendidikan bencana yang menjadi bagian dari salah satu forum publik pada World Conference on Disaster Risk Reduction (WCDRR) pada tanggal 14 Maret 2015. Forum ini bertujuan untuk mempertemukan para pemangku kepentingan dan pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan bencana untuk berbagi ilmu, pengalaman dan pelajaran mereka yang beragam guna meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana oleh masyarakat melalui pendidikan bencana. Para peneliti dan akademisi dari berbagai latar belakang pada akhir pertemuan menyepakati untuk adanya penyampaian Deklarasi Sendai, dalam deklarasi sendai itulah diperjelas pentingnya pendidikan bencana untu membangun budaya aman dan ketangguhan dalam menghadapi bencana.

Mengingat kejadian bencana terus menerus mengalami peningkatan, yang menyebabkan banyaknya korban jiwa, pemerintah perlu serius dalam melakukan pengurangan risiko bencana melalui pendidikan bencana, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam pendidikan bencana sebagai berikut: 

  1. Pemerintah daerah sebagai wakil dari pemerintah pusat, memiliki lembaga yang paham akan risiko bencana yang ada di daerahnya. Lembaga tersebut harus mampu bersinergi dengan lembaga lainnya untuk melakukan terobosan-terobosan yang dapat  mengurangi risiko bencana di daerahnya. Dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai lembaga yang menanggulangi bencana perlu melakukan sinergi dengan lembaga-lembaga daerahnya lainnya seperti Dinas Pendidikan dan Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota yang merupakan lembaga yang membawahi langsung  lembaga-lembaga pendidikan formal seperti, TK/RA, SD/MI, SLTP/MTS, dan SLTA/MA.
  2.  Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu mensiasati bagaimana pendidikan bencana ini dapat dilakukan secara berkelanjutan di sekolah. Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan untuk memasukkan pendidikan bencana ke dalam kurikulum pendidikan, namun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sampai saat ini belum memiliki mata pelajaran khusus kebencanaan karena kemendikbud belum memiliki instrumen hukum yang dapat memaksa sekolah melaksanakan pelatihan kebencanaan. Sebagaimana yang disampaikan Tenaga ahli Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) Kemendikbud Jamjam Muzaki, instrumen hukum yang berlaku sekarang berupa surat edaran 70a/SE/MPN/2010 tentang Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sektor Pendidikan yang diteken pada 2010, Kemendikbud juga membuat surat edaran serupa setiap tahunnya. Instruksi tersebut seharusnya dapat menjadi dasar untuk tetap menghadirkan pendidikan bencana di sekolah walaupun belum ada instrumen hukum yang kuat. 


BPBD, Dinas Pendidikan dan Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota dapat saling bersinergi untuk mengadakan pendidikan bencana, dengan membuat kegiatan ekstrakurikuler berbasis mitigasi bencana, peserta ekstrakurikuler terbuka dan wajib kepada seluruh warga sekolah, dengan begitu semua warga sekolah, baik guru, tenaga kependidikan, penjaga sekolah dan siswa terlibat dalam proses simulasi bencana.


Namun di lapangan ditemukan berbagai kendala seperti lambatnya proses administrasi, koordinasi dan komunikasi perihal izin kegiatan antara pihak sekolah dengan Dinas Pendidikan, atau Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.


Pihak sekolah/madrasah tentunya akan dengan senang hati melaksanakan kegiatan simulasi atau seminar pendidikan bencana, jika kegiatan simulasi atau seminar pendidikan bencana ini didukung oleh Dinas Pendidikan dan Kantor Kementrian Agama Kabupaten/Kota. Dengan adanya dukungan dari kedua lembaga ini, sekolah/madrasah akan mendapatkan legitimasi untuk melaksanakan kegiatan pendidikan bencana.

Adanya legitimasi berarti ada keterangan yang mengesahkan atau membenarkan kegiatan pendidikan bencana ini boleh dilakukan. Atas terselenggaranya kegiatan pendidikan bencana, maka guru akan akan mendapatkan sertifikat, sertifikat yang didapatkan sebagai ganti jam pelajaran yang tersita dikarenakan kegiatan simulasi atau seminar pendidikan bencana.

Sertifikat tersebut nantinya digunakan sebagai pelengkap nilai untuk tunjangan profesi guru yang ada di sekolah tersebut, jika guru-guru tidak mendapatkan sertifikat tersebut, maka tunjangan sertifikasi mereka tidak akan dapat dicairkan, karena jam mengajar mereka sudah berkurang.

Dari temuan di atas dapat disimpulkan, pada dasarnya kesadaran akan pendidikan bencana di sekolah/madrasah sudah mulai muncul, akan tetapi karena kebijakan-kebijakan dari pemerintah tentang tunjangan profesi guru yang mengacu pada perhitungan jam mengajar, maka perlu dikeluarkannya sebuah sertifikat sebagai bukti adanya kegiatan belajar mengajar dalam bentuk simulasi atau seminar pendidikan bencana yang telah dilakukan oleh guru di sekolah.

Melihat masalah yang terjadi di atas, solusi yang dapat ditawarkan yaitu berupa kolaborasi antara Pramuka dengan Pendidikan Bencana. Praja Muda Karana (Pramuka) merupakan gerakan relawan terbesar di dunia dengan anggota sekitar 20 juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia menurut Buku Panduan Latihan Kesiapsiagaan Bencana BNPB.

Menurut Joko Mursitho Pramuka adalah proses pendidikan di luar lingkungan sekolah dan di luar lingkungan keluarga dalam bentuk kegiatan yang menarik, menyenangkan, sehat, teratur, terarah, dan praktis yang bertujuan membentuk kepribadian yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa dan tentunya sehat jasmani dan rohani.

Pramuka adalah sistem pendidikan kepanduan yang disesuaikan dengan keadaan, kepentingan, dan perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pramuka merupakan wadah yang baik untuk dikolaborasikan dengan pendidikan bencana, dikarenakan Pramuka memiliki peran strategis dalam merealisasikan PRB berbasis Gugus Depan (Gudep) yang memiliki jaringan dari Kwartir Nasional, Kwartir Daerah, Kwartir Cabang hingga Kwartir Ranting dengan pembina satuan di sekolah-sekolah diseluruh Indonesia.

Sejak tahun 2002 Penanggulangan bencana merupakan salah satu bagian dari kegiatan Pramuka, melalui program bernama Pramuka Peduli yang berfokus kepada isu kebencanaan. BNPB, Kemendikbud, dan Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka pada tahun ini, telah meluncurkan Buku Saku Pramuka Siaga Bencana yang dibuat untuk 3 golongan kepramukaan yaitu, Siaga, Penggalang, Penegak dan Modul Siaga Bencana bagi Pembina Pramuka sebagai upaya integrasi pendidikan bencana melalui gerakan Pramuka.

Buku ini dapat digunakan oleh pihak Sekolah, Dinas Pendidikan, Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, untuk saling bersinergi dalam melaksanakan pendidikan bencana di sekolah, kegiatan pendidikan bencana, dapat disesuaikan dengan tingkatan sekolah dan tingkatan dalam Pramuka seperti SD/Siaga usia 7-10 tahun, SMP/Penggalang usia 11-15 tahun dan SMA/Penegak usia 16-20 tahun.





Di dalam buku saku ini, ada 4 poin penting yang perlu dipelajari oleh para anggota Pramuka.


Pertama, Pengantar Tentang Bencana Dan Pramuka. Pada bagian ini dijelaskan bahwasanya Indonesia merupakan wilayah yang memiliki potensi bencana yang sangat besar dan beragam, mulai dari gempa bumi, tsunami, longsor, banjir hingga letusan gunung berapi. Maka sudah sepantasnya kita sebagai warga negara Indonesia untuk selalu siap sedia dalam menghadapi bencana, dan terlebih lagi kita adalah anggota gerakan Pramuka. Anggota Pramuka harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam PRB dan mampu menjadi agen siaga bencana di Gudep, rumah dan lingkungannya.


Kedua, Pengetahuan Dasar Bencana. Pada bagian ini dijelaskan mengenai jenis-jenis bencana, baik bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Jenis-jenis bencana yang terbagi dalam klasifikasi tersebut sangat penting untuk Kenali Bahayanya, Kurangi Risikonya sebagai sebuah pengetahuan bencana, karena dengan mengetahui bencana-bencana apa saja yang dapat terjadi disekitarnya, seorang anggota pramuka dapat lebih responsif terhadap tanda-tanda akan terjadinya bencana dan Siap untuk Selamat.




Ketiga, Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana. Bencana sering terjadi tanpa peringatan, sehingga anggota Pramuka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapinya. Kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk melakukan antisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat dan berdaya guna.

Setiap anggota Pramuka harus sudah memiliki rencana kesiapsiagaan, seperti mengenal potensi bahaya atau ancaman di sekitar lokasinya, kemana harus melakukan evakuasi dan menyiapkan Tas Bencana yang berisi keperluan baik makanan, minuman, pakaian, obat-obatan pribadi, obat P3K, senter, peralatan seperti peluit, sarung tangan, selotip, pisau serbaguna, sejumlah uang dan dokumen-dokumen penting. Selanjutnya, anggota Pramuka juga harus bisa mengantisipasi bencana, disaat prabencana, saat bencana dan pasca bencana, yang disebabkan oleh bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.



Dalam buku saku Pramuka Siaga Bencana ada penugasan-penugasan dari Pembina untuk anggota Pramuka, seperti belajar tali temali yang nantinya dapat digunakan untuk pembuatan tandu, mendirikan tenda dan memasak sehingga jika dibutuhkan para anggota Pramuka dapat membantu para relawan di posko pengungsian. Serta menjaga lingkungan dengan cara membersihkan sampah di Gudep masing-masing, rumah dan lingkungan sekitar.

Keempat, Kerelawanan Pramuka. Kerelawanan adalah keikhlasan Pramuka untuk peduli kepada sesama dan lingkungannya sebagai wujud pelaksanaan Tri Satya dan Dasa Darma Pramuka. Hal inilah yang membuat beda antara buku saku Pramuka Siaga Bencana dengan buku saku bencana lainnya, di dalam buku saku ini lengkap dibahas mengenai bencana, dan petunjuk cara bagaimana untuk menghadapi bencana baik disaat pra bencana, saat bencana dan pasca bencana, ditambah dengan poin kerelawanan yang tidak ada di dalam buku saku lainnya.

Anggota Pramuka dapat menunjukkan berbagai kegiatan atau aktivitas kepramukaan, seperti:

  1. Penjelajahan dengan tema sadar lingkungan sehinggga para anggota Pramuka akan mengetahui daerah mana saja yang rawan bencana.
  2. Berkemah dengan mengelola lingkungan perkemahan dengan baik, seperti mengelola sampah, tata ruang dan diisi dengan kegiatan peduli lingkungan.
  3. Belajar mengenali tanda alam sehingga dapat merespon dengan tepat dan cepat jika terjadi bencana.
  4. Mengumpulkan donasi untuk bantuan korban bencana bersama anggota gudep lainnya, sebagai bagian dari empati dan kepedulian kita.
  5. Melaksanakan program bakti lingkungan dengan masyarakat secara rutin dimulai dari hal-hal kecil di lingkungan rumah, Gudep dan lokasi tempat latihan Pramuka.
  6. Di bawah bimbingan pembina, jika dimungkinkan atau dibutuhkan kawan-kawan anggota Pramuka dapat membantu kakak-kakak relawan di pos bantuan penanggulangan bencana. 
Selama menjalankan Aksi Kerelawanan Pramuka, anggota Pramuka perlu mengetahui dan mematuhi prinsip-prinsip kerelawanan, sebagai berikut:



Nah, bagaimana sudah jelas bukan bahwa kita bisa melakukan kolaborasi yang cukup efektif dalam upaya kesiapsiagaan bencana salah satunya dengan Pendidikan Bencana dan Pramuka. Mari bersama-sama kita miliki pengetahuan kesiapsiagaan bencana, agar tumbuh BudayaSadar Bencana, sehingga ketika bencana datang kita sama-sama sudah Siap untuk selamat. Salam Tangguh Bencana!

Sumber:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45165817

Pendidikan Tangguh Bencana (2017). Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

1 komentar untuk "Optimalisasi Pendidikan Bencana dengan Gerakan Pramuka"

  1. mau tanya om... kalau butuh buku saku siaga bencana, belinya dimana ya?

    BalasHapus

Posting Komentar