Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fakta-Fakta Menarik di Balik Kehidupan Perempuan di Pengungsian [Jepang dan Aceh Pasca Tsunami]


Foto dengan Salah Satu Narasumber Penelitian Kami

Saya dan tim dari Universitas Syiah Kuala berkesempatan mengunjungi beberapa wilayah di Jepang yang pernah dilanda tsunami Tohoku 2011 silam. Tujuan dari kunjungan ini adalah ingin mengetahui bagaimana peran kepemimpinan Perempuan pada saat tanggap darurat dan pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang. 

Kami sudah mewawancarai berbagai narasumber mulai dari masyarakat, tokoh agama, LSM kebencanaan dan perwakilan dari pemerintah. Dari hasil wawancara ini ada beberapa poin yang menarik khususnya terkait perempuan yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Narasumber pertama yang kami wawancarai adalah seorang perempuan yang berprofesi sebagai Pendeta agama Shinto dari keluarga tokoh agama Shinto yang terlibat saat tanggap darurat, rehab rekon gempa dan tsunami Tohoku 2011.  Fakta menarik yang didapat dari wawancara  adalah posisi pendeta atau tokoh agama merupakan sebuah Privilege dalam proses rehab rekon. 

Mengapa bisa demikian? Dari proses wawancara ditemukan beberapa informasi menarik diantaranya adalah profesi pendeta dan anak dari seorang tokoh agama Shinto yang sudah lama dikenal oleh masyarakat dan pemerintah di daerah tersebut, menjadikan narasumber dipilih sebagai anggota dari perwakilan perempuan di dewan kerja yang mengurusi perihal terkait rehab rekon. Dengan hadirnya tokoh agama diharapkan dapat menjembatani kepentingan pemerintah dengan masyarakat, dan begitu juga sebaliknya agar proses rehab dan rekon berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan.

Hal ini juga berlaku di masyarakat Aceh, sosok tokoh agama atau biasa disebut Teungku kadang-kadang lebih didengarkan daripada seorang pejabat katakanlah kepala dinas. Misalnya terkait vaksin, fenomena masyarakat di Aceh sebagian beranggapan menggunakan vaksin hukumnya haram karena menurut informasi yang mereka dengar dari sebagian Teungku mengharamkan vaksin karena mengandung zat yang berasal dari babi, padahal pemerintah dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) telah mengeluarkan fatwa bahwasanya vaksin adalah halal. 

Setalah melihat fenomena tersebut pemerintah melibatkan tokoh agama dalam mensosialisasikan program-programnya dengan harapan masyarakat dapat menerima dan menjalankan program tersebut.

Selain itu peran ulama Aceh juga memiliki andil besar dalam proses rehab rekon Aceh pasca tsunami 2004. Dengan peran tokoh agama, masyarakat begitu tabah menghadapi bencana yang menimpanya saat itu.

*** 

Fakta menarik berikutnya pasca tsunami Tohoku 2011, perempuan yang meninggal suaminya saat bencana tsunami lebih kuat dan panjang umur dibandingkan dengan laki-laki yang meninggal istrinya pada saat bencana tersebut. Mengapa demikian? Berdasarkan informasi yang diperoleh para lelaki tersebut banyak yang bunuh diri karena tidak sanggup lagi menjalani hidupnya tanpa didampingi oleh istrinya.

Perempuan di Aceh juga begitu, berdasarkan wawancara ditemukan fakta bahwa perempuan-perempuan Aceh yang meninggal suaminya saat gempa bumi dan tsunami Aceh tidak menikah lagi dan lebih fokus merawat anak-anaknya sehingga anak-anaknya bisa lulus Strata 1 dan mendapatkan kehidupan yang layak.

Namun sedikit berbeda dengan dengan para lelaki di Aceh yang meninggal istrinya saat gempa bumi dan tsunami Aceh 2004, mereka tidak melakukan bunuh diri, mereka malah menikah lagi, ada yang menikah dengan tetangganya atas permintaan keluarga istrinya. Ada juga yang menikah lagi dan mendapatkan anak kembar, yang menurutnya itu adalah bagian dari rencana Allah sebagai pengganti istri dan anaknya yang meninggal saat bencana tsunami tersebut.

***

Tahun 2005 Pemerintah Jepang sudah membuat peraturan tentang pentingnya peran perempuan dalam mitigasi bencana. Namun, faktanya hanya 10,8% saja perempuan yang dilibatkan. Pemerintah beralasan kurangnya keterlibatan perempuan dalam mitigasi bencana karena masih kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) dari kalangan perempuan. 

Kalaupun ada peran perempuan yang terlibat, mereka tidak leluasa mengutarakan pendapatnya dan biasanya mereka hanya menduduki posisi yang tidak strategis sehingga tidak bisa mengambil sebuah keputusan, mereka  hanya sebagai pelengkap saja untuk memenuhi persyaratan dari peraturan yang ada. 

Berdasarkan fenomena di atas, ada kesamaan yang dialami perempuan di Jepang dan di Aceh yaitu masih tingginya budaya patriarki. Misalnya kalau di Aceh ada sekelompok orang berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, mereka berdalih karena menurut agama Islam laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan bukan sebaliknya. Sehingga perempuan tidak bisa menempati posisi-posisi yang strategis dalam pemerintahan yang mengakibatkan suara atau pendapat mereka tidak terlalu didengar dan tidak bisa mengambil sebuah keputusan yang pro terhadap perempuan.

*** 

Di saat pengungsian perempuan rentan menjadi korban pelecehan, hal ini juga terjadi di Jepang, biasanya terjadi di tempat pengungsian yang tidak ada sekat antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, pelecehan juga sering terjadi di kamar mandi yang gelap dan di tempat menjemur pakaian, kebanyakan pelaku pelecehan merupakan orang-orang terdekat dari korban seperti saudara dan teman-temannya.

Korban tidak berani mengungkap kejahatan seksual tersebut kepada pihak kepolisian dikarenakan ada anggapan bahwa barang siapa yang mengatakan siapa yang melakukan pelecehan tersebut sama saja membuka aib di komunitas tersebut, sehingga proses pengungkapan kejahatan ini sulit untuk diselesaikan. 

Hal ini juga dialami oleh para penyintas perempuan gempa bumi dan tsunami Palu yang tinggal di huntara, mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya disebabkan desain huntara yang kecil, tanpa sekat dan bersambung antara penghuni satu dan penghuni lainnya membuat pasangan suami istri sulit melakukan pemenuhan biologis. Karena kesulitan menyalurkan hasrat biologisnya, mayoritas suami melampiaskannya dengan melakukan kekerasan fisik kepada pasangannya.

Selain itu, proses pelecehan seksual sering terjadi di toilet dan kamar mandi yang posisinya jauh dari tempat pengungsian dan tidak dipisah antara laki-laki dan perempuan. Semua itu terjadi karena perempuan kurang dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan pengungsian, sehingga tempat-tempat pengungsian itu tidak ramah bagi perempuan.

***

Berkaca pada bencana gempa Kumamoto 2016, yaitu 5 tahun setelah terjadinya gempa dan tsunami Tohoku, ditemukan beberapa fakta bahwa belum ada upaya yang signifikan untuk mengurangi risiko terjadinya kekerasan seksual pada perempuan di tempat pengungsian. Berdasarkan data hanya 45% yang memasang dinding pembatas di tempat-tempat pengungsian, 45% yang menyediakan ruangan khusus ganti baju bagi perempuan, dan 4% yang menyediakan tempat jemuran khusus bagi perempuan di tempat pengungsian.

Begitu juga di Indonesia, berkaca pada bencana gempa dan tsunami Palu 2018, yang menyebabkan banyaknya perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, korban KDRT dan percobaan perkosaan kepada anak-anak perempuan. 

Sebentar lagi kita akan memperingati 20 tahun tsunami Aceh yang jatuh pada 26 Desember 2024, kira-kira apa yang sudah kita lakukan khususnya dalam mengurangi risiko pada kelompok rentan di pengungsian? apakah kita sudah menjadi wilayah yang tangguh bencana? mungkin jawabannya bisa sama-sama kita renungkan dalam rangka refleksi 20 tahun tsunami Aceh.

*Muhammad Arifin, Peneliti TDMRC USK Divisi Pendidikan Bencana, dan Anggota Tim Peneliti Hibah Sumitomo Foundation 2024.

Email: muhammedarifin1990@gmail.com



 





Posting Komentar untuk "Fakta-Fakta Menarik di Balik Kehidupan Perempuan di Pengungsian [Jepang dan Aceh Pasca Tsunami]"