Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merunut Kegagalan Edukasi Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia

Simulasi Sekolah Madrasah Aman Bencana di Banda Aceh
Simulasi Sekolah Madrasah Aman Bencana di Banda Aceh


Merunut Kegagalan Edukasi Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia - Kemarin saya menonton Channel Guru Gembul, salah satu channel kesukaan saya, video yang berjudul Gempa Susulan Akan Mengguncang Jawa Barat, Lebih Besar, Lebih Merusak, 8 Jiwa Terancam.

Seingat saya video ini adalah video pertama Guru Gembul yang membahas fokus terkait isu bencana. Guru Gembul menjelaskan bahwa dia memiliki seorang teman namanya Pak Imam.

Pak Imam berbincang dengan masyarakat Padang, kemudian Pak Imam bertanya kepada masyarakat di sana. Bapak/Ibu kalau di daerah Bapak/Ibu terjadi gempa kemudian disusul gelombang tsunami Bapak/Ibu melakukan apa?

Pertanyaan Pak Imam sebenarnya simple, tapi jawaban dari Bapak/Ibu yang ditanya itu sangat menjongkongkan.

Bapak/Ibu yang ditanya itu menjawab kami sudah berketurunan di sini, sudah beranak pinak di sini, kami juga sudah hidup mencari nafkah di sini, ini tanah air kami. Jadi, kalau ada tsunami apa boleh buat, kami hanya bisa pasrah saja. 

Pak Imam yang bertanya tadi langsung nelan lidah, nepok jidat dan gali liang lahat.

Lantas Guru Gembul bertanya kok bisa seperti ini? Menurutnya masalahnya sangat sederhana, kalau kita berbicara gempa dan tsunami, maka jarak gempa kemudian disusul tsunami itu sekitar 20 menit untuk jeda yang pendek.

Jeda yang panjang, bisa saja lebih dari 20 menit. Makanya kalau saja masyarakat kita itu diberi pengetahuan yang sangat sederhana dan simple itu, bahwa ada jeda antara gempa kemudian terjadi tsunami 20-30 menit.

Mungkin rakyat Indonesia bisa bertahan lebih baik dan bisa menyelamatkan diri lebih baik lagi kalau seandainya terjadi tsunami.

Tetapi pengetahuan seperti itu tidak pernah diajarkan kepada kita atau jarang sekali kita terima. Nah, mari kita cek apakah keresahan guru gembul itu benar adanya.

*** 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai wakil pemerintah terkait Pengurangan Risiko Bencana (PRB). BNPB bertanggung jawab memberikan pendidikan PRB kepada masyarakat baik sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana.

Tentu dalam menjalankan tanggung jawabnya, BNPB memiliki beberapa program untuk mencapai tanggung jawabnya, seperti Desa Tangguh Bencana (DESTANA), Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) dan lain sebagainya.

Program DESTANA bertujuan mengedukasi  masyarakat desa untuk memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta dapat memulihkan diri dari dampak yang ditimbulkan bencana.

Selanjutnya, program SPAB bertujuan untuk mengedukasi  pimpinan sekolah untuk membangun sarana dan prasarana yang tahan terhadap bencana dan mengedukasi warga sekolah untuk memiliki pengetahuan PRB.

Dari dua kegiatan ini tentu dapat menjawab keresahan dari Guru Gembul yang mengatakan pemerintah tidak mengedukasi masyarakatnya untuk memiliki pengetahuan PRB.

Namun, timbul pertanyaan berikutnya. Kenapa sudah ada program DESTANA, tapi masih banyak desa yang belum dapat mengurangi risiko bencana tersebut, sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa dan rusaknya harta benda?

Kenapa banyak sekolah yang ketika terjadi bencana, sarana dan prasarananya hancur sehingga mengakibatkan warga di sekolah tersebut meninggal dunia?

Apa yang terjadi sebenarnya? Saya mencoba mencari jawaban atas fenomena di atas, saya pernah bertanya tentang upaya pemerintah dalam PRB kepada seorang tokoh agama yang selamat dari peristiwa tsunami di Desa Alue Naga Kota Banda Aceh. 

Desa yang ditempatinya merupakan desa terparah diterjang tsunami, karena desa tersebut terletak di pinggir pantai. 

Dia bercerita, dulu di desa saya ini, pasca satu tahun atau dua tahun tsunami sering dilakukan kegiatan-kegiatan PRB, seperti simulasi gempa bumi dan tsunami. Namun, pasca 17 tahun tsunami tidak pernah lagi dilakukan kegiatan-kegiatan tersebut.

Selanjutnya, ketika saya jalan-jalan ke Desa Ulee Lheue Banda Aceh, yaitu desa terparah dihantam tsunami karena letaknya di pinggir pantai. Saya bertanya kepada seorang ibu rumah tangga (IRT) yang tinggal di desa tersebut terkait upaya PRB. 

IRT itu menjawab, di desa saya setiap tahun dilakukan kegiatan-kegiatan PRB, namun saya malas untuk mengikuti kegiatan tersebut, karena enggak masuk duit. Ketika saya mendengar alasan IRT yang tidak mau mengikuti kegiatan PRB karena duit, lantas jawaban tersebut menjonkongkan saya seperti yang dialami Pak Imam.

Simulasi Sekolah Madrasah Aman Bencana di Banda Aceh
Simulasi Sekolah Madrasah Aman Bencana di Banda Aceh

Selain itu, baru-baru ini saya mendapat informasi dari teman saya Mas Iqbal asal Bantul, yang merupakan korban gempa bumi Yogyakarta tahun 2006. Rumahnya hancur dan keluarganya ada yang meninggal dunia.

Mas Iqbal mengatakan dia dan keluarganya belum pernah mendapatkan pendidikan PRB. Mendengar jawaban dari Mas Iqbal sepertinya saya menemukan benang merah terkait fenomena yang sudah saya jelaskan  di atas.

Menurut saya, pendidikan PRB belum dilakukan secara merata, sebagai contoh Desa Alue Naga dan desa Mas Iqbal tidak lagi atau tidak mendapatkan pendidikan PRB sama sekali. Padahal ke dua desa tersebut notabenenya adalah daerah yang sudah pernah mengalami bencana.

Seharusnya di desa itu, perlu dilakukan pendidikan PRB yang berkelanjutan. Nah, timbul pertanyaan berikutnya, bagaimana nasib desa yang belum atau tidak pernah mengalami bencana seperti gempa bumi dan tsunami?

Apakah desa tersebut akan diberikan pendidikan PRB? tentu jawabannya tidak, jika melihat dua kasus desa di atas.

Terkait fenomena alasan IRT Desa Ulee Lheue yang enggan melaksanakan pendidikan PRB, tentu ini bagian dari tantangan pemerintah atau lembaga di luar pemerintah untuk melaksanakan pendidikan PRB di masyarakat. 

Saran saya perlu dilakukan pendidikan PRB berbasis pemberdayaan ekonomi, seperti yang dilakukan Komunitas Gugus Mitigasi Lebak Selatan. Selain fokus di pelatihan pendidikan PRB bahaya gempa bumi dan tsunami, komunitas ini juga bergerak memberikan pelatihan program ketahanan pangan dan program desa bambu yang sudah berjalan pada tahun 2022 ini.


Penulis: Muhammad Arifin, Alumni Magister Ilmu Kebencanaan dan Peneliti Lab. Pengetahuan Kebencanaan TDMRC Universitas Syiah Kuala.








Posting Komentar untuk "Merunut Kegagalan Edukasi Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia"